Jangan Pernah Meremehkan Mimpi
tak punya uang dan hanya bermodalkan ide lalu mengajukan proposal pinjaman ke bank, seperti apa reaksi bank?
tak punya uang dan hanya bermodalkan ide lalu mengajukan proposal pinjaman ke bank, seperti apa reaksi bank?
Seorang ibu
rumah tangga mau mendirikan toko kue, mungkin hal biasa. Tetapi jika ia tak
punya uang dan hanya bermodalkan ide lalu mengajukan proposal pinjaman ke bank,
seperti apa reaksi bank?
Pengalaman pahit dialami Debbi Fields, perempuan muda anak seorang tukang patri. Ia mendatangi bank sambil membawa kue buatannya sendiri. Pejabat bank yang menerimanya mencicipi kue-kue itu. Tak satu pun yang tak menyukainya. Meski begitu tetap saja proposal pinjaman modalnya ditolak bank itu.
Debbi pulang
dengan perasaan galau. Untunglah ia punya suami, Randy Fields, yang bekerja
sebagai makelar investasi. Sang suami memang kerap membawa kue-kue buatan Debbi
untuk dicicipi para kliennya. Dan diakui olehnya kue-kue buatan Debbi unik dan
enak. Namun ketika ia mengetahui niat Debbi untuk membuat toko, Randy malah
terbelalak. “Saya pikir ini gila,” begitu respon sang suami pada niat Debbi.
Menurut
Randy, dengan latar belakang pendidikan Debbi di bidang Sastra Inggris dan
Sejarah, sulit membayangkan Debbi akan berhasil di bisnis jualan kuenya.
Apalagi ia tak berpengalaman di bidang bisnis. “Dia tak tahu apa-apa soal
bisnis,” ujarnya.
Meski begitu
ia mau juga menolong sang istri. Dan berkat bantuannya akhirnya permohonan
pinjamannya ke bank bisa dikabulkan. Debbi pun mendapatkan modal pada tahun
1977. “Satu-satunya yang saya miliki adalah sebuah Volkswagen Bug, surat utang,
dan sebuah mimpi. Tapi saya tidak peduli. Saya tahu saya akan membayar kembali
utang saya walaupun saya harus mengambil tiga pekerjaan sekaligus,” papar Debbi.
Perempuan
kelahiran Oakland, California, 18 September 1957 itu percaya kue buatannya
pasti disukai banyak orang karena keterampilannya sudah terasah sejak
anak-anak. Ketika ia bekerja sebagai tukang pungut bola di arena baseball saat
usianya menginjak 13 tahun, upahnya ia sisihkan untuk membeli bahan-bahan dan
segera saja sepulangnya bekerja ia berkutat dengan eksperimen membuat kue.
Kuenya dicicipi kerabatnya yang memujinya sebagai kue yang amat lezat. Dan hobi
itu terus berkembang hingga menikah saat usianya 19 tahun. Karena itulah ia
yakin, jika ia punya toko, kuenya pasti laku.
Sayangnya,
ketika toko idamannya itu dibuka pada 16 Agustus 1977, tanda-tanda itu tak
muncul di hari pertama. Hingga jam 15.00 tak satu pun orang mau mampir ke
tokonya. Khawatir kuenya basi, ia mengambil baki dan membawa sejumlah kue ke
jalan dan membagi-bagikannya. Aksi reaktif itu justru membuahkan hasil.
Sejumlah orang yang mencicipinya terpanggil untuk mendatangi toko kue Mrs
Fields Chocolate Chippery miliknya. Beberapa orang memborong kuenya. Hari
pertama itu ia membukukan penjualan US$ 75.
Setelah itu,
masa depannya mulai terang. Tahun 1980 ia sudah memiliki 15 toko. Jumlah
cabangnya terus bertambah. Tahun 1989 ia mengadopsi sistem franchise hingga
jumlah cabangnya mencapai lebih dari 500. Namun karena pusing memikirkan
jaringannya yang makin menggurita, akhirnya ia menjual perusahaannya dan lebih
fokus jadi penulis buku, pembicara seminar, dan mengelola jaringan restoran.
Add Comments